Tampilkan postingan dengan label Pencegahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pencegahan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Juli 2016

PNS : Sama- sama Bekerja, Nasib Beda-Beda

Pantaskah PNS dan pejabat negara digaji lebih tinggi dari gaji yang diterima saat ini? Jawannya bisa berbeda antara yang menyatakan pantas dengan yang menyatakan tidak pantas. Perbedaan jawaban ini sangat bisa dimaklumi tergantung kita melihatnya dari sudut pandang mana dan siapa.

Jika kita bertanya kepada PNS saya bisa memastikan pasti mereka (mungkin termasuk saya ) menginginkan adanya kenaikan gaji dari yang diterima saat ini, alasannya mungkin tidak jauh berbeda dari dulu sampai sekarang bahwa besaran gaji yang diterima PNS saat ini masih jauh dari kata cukup mengingat perubahan harga kebutuhan pokok saat ini yang cenderung mengalami kenaikan dan sangat jarang terjadi penurunan. Sedangkan jika kita melihat dari kondisi perekonomian saat ini dimana banyak rakyat yang hidup dalam kesusahan tentunya PNS harus malu mengeluhkan gaji yang diterimanya.

Namun terlepas itu pada tulisan ini penulis ingin sedikit menyinggung sistem penggajian, dan sistem pemberian tambahan penghasilan terhadap PNS (yang tidak seragam ) antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan ketidakseragaman itu juga terjadi dalam satu daerah

Sudah memadaikah gaji PNS saat ini. Bayangkan dengan penghasilan rata- rata 2 sampai dengan 4 juta perbulan harus membiayai pengeluaran rata-rata 3-4 juta perbulan (dengan asumsi pengeluaran perhari Rp 120 ribu) itu adalah perhitungan biaya hidup di daerah- daerah, lalu bagaimana dengan mereka PNS yang hidup di kota-kota besar dengan harga barang serba mahal, penuis hakkul yakin gaji yang diterima kalaupun tidak bisa kita bilang tidak cukup, paling-paling cuma bisa pas-pasan. Bukan kah para PNS ini juga harus memikirkan masa depan anak-anak mereka yang membutuhkan pendidikan yang layak.

Sebagai akibat dari belum memadainya gaji PNS saat ini adalah seperti yang di ungkapkan eleh Kwik Kwian Gie, mantan menteri pada era presiden Gusdur : 

“Sistem penggajian PNS dan POLRI sudah menjadi sangat semerawut. Ini disebabkan karena besarnya gaji yang diterima hanya cukup untuk hidup satu sampai dua minggu saja. Maka dicarikan berbagai macam akal dan rekayasa seperti tunjangan jabatan dan berbagai tunjangan lainnya, tunjangan in natura dsb”

Hal seperti yang disampaikan diatas adalah fakta pertama mengenai pendapatan PNS, namun lebih dari itu ada fakta lainnya yang terjadi di lingkungan PNS terutama di daerah, bahwa ternyata banyak juga PNS yang hidupnya berkecukupan, dimana mereka bisa juga membeli mobil, bisa bangun rumah yang bisa dikatakan bagus (paling tidak menurut penulis), hal ini biasanya terlihat dari PNS yang kebetulan ditempatkan pada dinas/badan/kantor ataupun kebetulan ditempatkan pada posisi “strategis”

Lalu pertanyaanya apakah ada perbedaan besaran gaji PNS (gaji pokok) berdasarkan perbedaan tempat bekerja? Setau penulis perbedaan besaran gaji itu memang ada tetapi berdasarkan masa kerja dan tingkat golongan PNS itu sendiri, perbedaan juga ada ketika gaji pokok tersebut diakumulasi dengan tunjangan tunjangan lainnya seperti tunjangan istri/suami, tunjangan anak, tunjangan jabatan . Perbedaan lainnya juga bisa terjadi pada mereka yang bekerja pada instansi vertikal, hal ini karena besaran tunjangan pada instansi vertikal tersebut bisa bermacam-macam katakanlah seperti pada beberapa kementrian yang memberikan remunerasi kepada PNS nya.

Maksud dari tulisan ini penulis tidak akan menyoroti kenapa ada sebagian PNS yang bisa beli mobil dan buat rumah yang bisa dibilang bagus, sementara ada juga PNS lainya cuma bisa hidup pas-pasan bahkan kadang-kadang harus ngutang sana sini untuk mencukupi biaya hidup. Hal ini tentunya akan ada banyak faktor yang mempengaruhi.

Faktor pertama kenapa sebagian PNS bisa hidupnya enak barang kali dia memang mewarisi harta kekayaan yang ditingalkan oleh orangtuanya atau mungkin sebelum menjadi PNS mereka pernah bekerja pada sektor swasta dengan penghasilan yang mencukupi sehingga ketika menjadi PNS dia memang sudah punya fasilitas seperti yang disebut diatas.

Faktor selanjutnya, mungkin saja kebetulan Suami dan istri dari mereka adalah sama-sama sebagai PNS, atau salah satu dari suami atau istri bekerja ada sektor swasta, bahkan mungkin salah satunya adalah Pengusaha, sehingga penghasilan mereka tentu akan berbeda dengan keluarga yang cuma salah satu antara suami atau istrinya saja yang menjadi PNS. 

Sementara itu bagi PNS yang merasa hidupnya pas-pasan atau mungking kurang juga ada banyak faktor yang tentunya mempengaruhi, misanya barang kali saja gaji mereka sudah dipotong tiap bulan oleh bendahara untuk setoran kredit di bank, atau mungkin gaya hidup yang “lebih besar pasak dari tiang” maka pantas saja gaji mereka tidak akan pernah cukup untuk biaya hidup sehari-hari

Terlepas dari faktor-faktor tersebut, penulis ingin membahas beberapa hal yang barang kali menyebabkan terjadinya ketimpangan antara PNS satu daerah dengan PNS daerah lainnya, bahkan antar PNS dalam satu daerah. 

1. Sudah tepatkah sistem penggajian PNS saat ini?

Hal ini didasari dari dari program reformasi birokrasi yang sedang dijalankan pemerintah saat ini, dimana tujuan mulia dari reformasi birokrasi ini yang ingin mengembalikan fungsi Pegawai Negeri Sipil pada fungsi yang seharusnya yaitu sebagai pelayan masyarakat yang belakangan ini posisinya sudah terbalik sehinga menempatkan Pejabat dan PNS pada posisi orang yang dilayani. Tujuan lainya adalah untuk memangkas jalur birokrasi yang selama ini cenderung berliku bagaikan jalan di pegunungan.

Niat Baik pemerintah ini tentunya memerlukan dukungan Pegawai Negeri Sipil sebagai pihak yang akan mengimplementasikan kebijakan pemerintah tersebut, so pasti faktor sumberdaya manuasia PNS akan sangat menentukan sukses tidaknya program reformasi birokrasi ini. Pegawai Negeri sipil dituntut untuk bekerja lebih baik, lebih melayani, lebih disiplin, lebih taat aturan dan hal- hal baik lainya.

Persoalan selama ini bahwa sebagian PNS tidak bekerja secara optimal, banyak PNS yang tidak kompeten mungkin adalah faktor lainya sehingga perlu adanya reformasi birokrasi dalam tubuh Korp Pegawai Pegeri Negeri sipil tersebut. Hal ini adalah fakta yang tidak bisa disanggah.

Lalu persoalan kurang optimalnya kinerja PNS selama ini apakah itu murni kesalahan dari oknum PNS itu sendiri, atau jangan jangan ada hal lain yang menyebabkan tidak optimalnya kinerja PNS. Coba kita bayangkan saja bisakah PNS konsentarsi pada pekerjaan disaat satu sudut dari pikiran mereka harus memikirkan bagaimana mencari penghasilan lain untuk nambah-nambah penghasilan yang ada guna mencukupi kebutuhan hidup.

Dengan keluarnya Undang-undang ASN tahun 2014 telah sedikit memberi angin segar bagi para abdi negara, sebagai konsekwensi dari berlakunya Undang-undang tersebut ialah adanya perubahan pada sistem penggajian PNS, dimana komponen penghasilan Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri dari gaji pokok, tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan.

Gaji pokok merupakan komponen penghasilan ASN yang besarnya sama jika pangkat, golongan, dan masa kerjanya sama tanpa membedakan daerah/tempat di mana ASN tersebut bekerja. ASN dengan pangkat, golongan, dan masa kerja yang sama, di manapun dia bekerja. Sedangkan tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan nilainya akan berbeda-beda tergantung di mana ASN tersebut bekerja dan di instansi mana ASN tersebut ditempatkan. Nantinya, akan dibuat cluster cluster. dan cluster-cluster tersebut disusun berdasarkan rayon yang pertimbangannya di antaranya adalah Pendapatan Asli Daerah , tingkat kemahalan, dan jumlah penduduk.

Belum keluarnya PP tentang sistem penggajian seperti tersebut diatas merupakan penyebab belum diterapkankannya sestem penggajian seperti itu, berdasarkan Kepres Nomor 9 Tahun 2015 RPP merupakan salah satu RPP prioritas ditahun 2015. Namun Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi pernah mengatakan bahwa sistem penggajian ini kemungkinan akan mulai dijalankan di tahun 2017

2. Sudah tepatkah sistem Pemberian Tambahan Penghasilan PNS saat Ini?

Kebijakan pemberian honorarium kepada PNS yang selama ini dilakukan hanya terbatas kepada PNS yang terlibat pada kegiatan proyek, perbedaan unit kerja telah secara nyata terjadinya perbedaan pendapatan antar PNS, unit-unit kerja tertentu yang memunyai banyak kegiatan tentu akan memperolah honorarium yang lebih besar ketimbang PNS pada unit kerja yang hanya mempunyai satu dua kegiatan saja. Hal ini sudah barang tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial antar PNS. Kondisi tersebut juga bisa mengakibatkan demotivasi kerja bagi sebagian besar PNS.

Berbagai uaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mencari solusi untuk mengatasi rendahnya pendapatan PNS. Sallah satu cara yang dilakukan yaitu dengan memberikan tambahan penghasilan secara merata kepada seluruh pegawai, perberbedaannya adalah syarat pemberian tambahan pendapatan tersebut. 

Pemberian tambahan penghasilan tersebut dimaksud supaya tidak menimbulkan kecemburuan diantara PNS. Berdasarkan peraturan Permendagri No. 13 tahun 2006 sebagaimana telah beberaa kali diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 tahun 2011, pasal 39 ayat (2) berbunyi: “Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja”. 

Dengan ketentuan tersebut maka memungkinkan bagi pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk memberikan tunjangan berupa tambahan penghasilan bagi PNS daerah asalkan berdasarkan kepada beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja. 

Yang menjadi persoalan dalam pemberian tambahan penghasilan tersebut adalah apa tolak ukur dalam hal menentukan prestasi kerja PNS, apakah tingkat kehadiran, kinerja ataupun kualitas hasil pekerjaan oleh PNS itu sendiri, karna menurut pengamatan penulis pada beberapa daerah tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada seluruh PNS, padahal dalam Permendagri nomor 59 tahun 2007 sudah jelas dikatakan dalam pasal 39 ayat (7) “Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang memiliki prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi”. Pertanyaannya apakah semua PNS mempunyai prestasi kerja? Padahal faktanya banyak lho PNS yang cuma kekantor untuk “3DP”datang, duduk, diam dan pulang.

Persoalan lainya adalah bagaimana jika ada PNS yang sudah menerima tambahan penghasilan yang bersumber dari APBN katakanlah seperti guru yang sudah menerima tunjangan profesi tetapi masih juga memperoleh tambahan penghasilan dalam bentuk lain. Belum lagi bagaimana jika ada PNS yang menerima tambahan penghasilan “double” dimana sudah menerima tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja tapi juga menerima tambahan penghasilan dalam bentuk tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja. Bahkan yang akan sangat mengherankan bahwa tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja tersebut hanya diberikan kepada unit kerja tertentu saja.

Berangkat dari itu semua harapan kita bahwa dalam pemberian tambahan penghasilan tersebut hendaknya ada penyeragaman antar daerah dengan pemberian cluster-cluster tertentu berdasarkan rayon, hal ini perlu untuk menghindari adanya kecemburuan antar PNS, karna PNS yang bekerja pada daerah dengan PAD tinggi memperoleh Tambahan penghasilan yang tinggi pula, lalu bagaimana dengan PNS yang didaerah dengan PAD rendah. 

Demikian juga bagi Pemerintah daerah hendaknya menentukan kriteria yang jelas dalam pemberian tambahan penghasilan kepada PNS dijajaranya, penilaian tersebut haruslah benar-benar objektif.

Dalam hal ini kita bukannya iri atau cemburu terhadap mereka yang punya penghasilan lebih tersebut, namun persoalannya adalah dimana letak keadilan itu. 

Selain itu Dengan diberlakukannya kebijakan tambahan penghasilan bagi PNS daerah hendaknya berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pegawai sehingga menumbuhkan keyakinan pegawai dalam menetapkan perencanaan kebutuhan hidupnya. 

Disisi lain pemberian tambahan penghasilan diarahkan agar seluruh PNS termasuk pegawai pada garis depan pelayanan agar dapat meningkatkan disiplin dan kinerjanya dan dapat memberikan kualitas layanan sesuai standar prosedur baku (SOP) yang ditetapkan.

Pemerintah di daerah dapat memberlakukan sanksi yang tegas bagi pegawai yang menerima suap dalam memberikan layanan masyarakat.

Jumat, 01 Juli 2016

Potensi Persoalan Pengelolaan Dana Desa

Source : http://radiobuana.com/
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa. Kajian ini dilatari oleh diberlakukannya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Dari kajian yang dilakukan sejak Januari 2015, KPK menemukan 14 temuan pada empat aspek, yakni aspek regulasi dan kelembagaan; aspek tata laksana; aspek pengawasan; dan aspek sumber daya manusia.


Pada aspek regulasi dan kelembagaan, KPK menemukan sejumlah persoalan, antara lain; Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa; Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri; Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan; Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan; serta Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

1. Aspek regulasi dan kelembagaan

Persoalan pada aspek regulasi kelembagaan terlihat dari belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa serta adanya potensi tumpang tindih kewenangan. 

Regulasi bisa dianggap masalah pada pengalokasian dana desa . Minimnya pengetahuan perangkat desa tentang regulasi yang berlaku membuat pengelolaan dana desa tidak berjalan lancar. Setiap kali menerima dana, perangkat desa harus membuat surat pertanggungjawaban terlebih dahulu, padahal banyak perangkat desa yang tidak paham tentang proses ini. Akibatnya ada ketakutan pada perangkat desa untuk menggunakan dana desa.
sehingga sangat disarankan pemerintah meengkapi reguasi-regulasi yang terkait dengan penyeenggaraan pemerintah usat, baik reguasi tingkat nasional maupun reguasi tingkat daerah.Sementara untuk Penguatan struktur kelembagaan desa dapat dilakukan melalui pendidikan dan penyuluhan, pendampingan terhadap para aparatur desa, serta meningkatkan kesejahteraan aparatur desa dan masyarakat desa.

2. Aspek tata laksana

Dari aspek tata laksana, persoalan muncul pada kesulitan desa dalam mematuhi kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa, satuan belum tersedianya harga baku barang atau jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa, dan transparansi rencana penggunaan dan pertanggung jawaban APBDesa masih rendah, laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

3. Aspek pengawasan

Sementara pada aspek pengawasan, terdapat masalah dalam efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah dan ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas. 

4. Aspek sumber daya manusia

pada aspek sumber daya manusia terdapat potensi persoalan yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi karena memanfaatkan lemahnya aparat desa. Bahkan di beberapa daerah beum ada pendelegasian wewenang evaluasi dan pengawasan dana desa dari daerah kepada camat dengan alasan sumberdaya manuasia di kecamatan belum memadai.


Kamis, 30 Juni 2016

Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional Menurut BPKP

BPKP dalam buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional , telah menyusun beberapa strategi pemberantasan korupsi yang meiuti strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut : 

Strategi Preventif

Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:
  1. Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat; 
  2. Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya;
  3. Membangun kode etik di sektor publik ;
  4. Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis.
  5. Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.
  6. Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan  kesejahteraan Pegawai Negeri ;
  7. Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas   kinerja bagi instansi pemerintah;
  8. Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;
  9. Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) 
  10. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ;
  11. Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;
Strategi Detektif
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi.
Strategi detektif dapat dilakukan dengan :
  1. Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;
  2. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;
  3. Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;
  4. Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional ;
  5. Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ;
  6. Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

Strategi Represif

Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan :
  1. Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ;
  2. Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes);
  3. Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas ;
  4. Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ;
  5. Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus ;
  6. Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu ; 
  7. Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya; 
  8. Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. 

Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan 
meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)/ Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dan Perbankan dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja
masing-masing. 

Banyak Potensi Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

www.rmolsumsel.com
Pengadaan barang dan jasa Pemerintah saat ini beum berjallan sesuia dengan aturan dan sebagaimana yang diharaka. Sangat banyak tensi terjadinya tindak pidana korupsi daam pengadaan tersebut Berikut kami uas beberaa diantaranya :

1. Pemberian suap, penggelapan

Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsiyang paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Pada periode 2004-2010, 44 persen kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi tertinggi yang ditangani KPK. Tertinggi kedua adalah Kasus penyuapan yang mencapai 29 persen (http://www.merdeka.com).

Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Definisi korupsi itu sendiri diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Definisi didalam pasal tersebut memuat unsur-unsur; secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri; orang lain atau suatu korporasi; yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Pemalsuan, Pemerasan

Potensi korupsi dalam pengadaaan barang/jasa melingkupi semua spektrum mulai dari identifikasi kebutuhan proyek, penentuan spesifikasi, proses tender, sampai dengan pelaksanaan proyek. Sebagai contoh, pada tahap identifikasi proyek, praktik tidak etis dapat berbentuk ‘pemalsuan’ kebutuhan untuk menjustifikasi pengadaan barang/jasa. Praktik jahat yang mungkin dilakukan pada proses penentuan spesifikasi termasuk kesengajaan mereka-reka spesifikasi untuk membatasi partisipasi rekanan atau condong ke rekanan tertentu. Pada tahapan pelaksanaan pekerjaan, contoh praktik tidak terpuji yang mungkin dilakukan adalah penggunaan material dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan bestek yang disepakati. Audit pekerjaan yang jujur sangat diperlukan dalam tahapan ini.

3. Penyalahgunaan wewenang

Bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan yang masuk kategori tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 adalah manakala pejabat yang diberi amanah telah melakukan tindakan korupsi karena penyalahgunaan kewenangan jabatannya seperti pengadaan barang dan jasa tanpa melalui proses sesuai prosedur pengadaan dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang berakibat terjadinya kerugian negara, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang jabatan  (abuse of power).

4. Pertentangan Kepentingan

Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010  tentang pengadaan barang dan jasa pemerinta beserta serta perubahanya memberikan batasa-batasan tegas terhadap implementasi kepentingan para pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung, diantaranya :
  1. Pegawai K/L/D/I dilarang menjadi Penyedia Barang/Jasa, kecuali yang bersangkutan mengambil cuti diluar tanggungan K/L/D/I. (pasal 19 ayat 3)
  2. Penyedia Barang/Jasa yang keikutsertaannya menimbulkan pertentangan kepentingan dilarang menjadi Penyedia Barang/Jasa (pasal 19 ayat 4)
  3. Pelarangan rangkap jabatan dalam organisasi pengadaan ( Pasal 17 ayat 7)
Pasal tentang pelarangan tersebut merupakan tindakan preventif yang menjadi acuan para pihak untuk menghindari konflik kepentingan. Pelarangan tersebut selalu berkaitan dengan rangkap jabatan karena didalam rangkap jabatan jalan untuk menyalurkan kepentingan individu dan/atau golongan terbuka lebar yang jika tidak dibatasi akan menimbulkan konflik kepentingan. 

5. Pilih Kasih (Favoritisme)

Pilih kasih adalah memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga, afiliasi partai politik, suku, agama dan golongan, yang bukan kepada alasan objektif seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionalisme kerja.

6. Komisi, Nepotisme, Kontribusi /Sumbangan Illegal
Menerima komisi (commission) dimana pejabat Publik yang menerima sesuatu yang bernilai, dalam bantuan uang, saham, fasilitas, barang dll, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan atau hubungan bisnis dengan pemerintah.

Nepotisme (nepotism) adalah tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik yang sefaham, dalam penunjukkan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan atau pemilihan pemenang lelang. 

Kontribusi atau sumbangan ilegal (ilegal contribution) yang terjadi apabila partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil yang dibebankan kepada kontrak- kontrak pemerintah (IPW 2005).

Praktek KKN yang dilakukan dalam PBJ memberikan konstribusi saling menguntungkan dari tritunggal benefactor. Pada pihak oknum pejabat pengguna barang/jasa dan panitia pengadaan keuntungan yang dinikmati berbentuk keuntungan finansial atau materi tertentu yang diberikan penyedia barang/jasa. Termasuk dalam keuntungan tersebut adalah fasilitas-fasilitas tertentu yang diberikan untuk dinikmati baik oleh diri sendiri atau kroni-kroninya. Sedangkan keuntungan yang dinikmati oleh penyedia barang/jasa adalah kesempatan untuk memenangkan tender atau lelang. Menjadi pemenang tender adalah tujuan utama (ultimate intention) dari setiap upaya yang dilakukan dalam membangun hubungan dengan pengguna barang/jasa atau panitia pengadaan.