Tampilkan postingan dengan label Berita Korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita Korupsi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Maret 2019

DALAM KASUS SUAP KERJASAMA PENGANGKUTAN BIDANG PELAYARAN KPK TETAPKAN TIGA TERSANGKA

Dikutip dari laman kpk.go.id, situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap kerja sama pengangkutan bidang pelayaran. Penetapan tersangka ini adalah hasil dari peristiwa tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Rabu, 27 Maret 2019 hingga Kamis, 28 Maret dini hari. 

KPK menyesalkan hal-hal transaksional seperti ini harus terjadi ditengah upaya KPK dan sejumlah partai politik untuk mewujudkan politik yang bersih dan berintegritas. Pasalnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga mencalonkan diri di Daerah Pemilihan Jawa Tengah II pada Pemilu 2019 justru diduga terlibat korupsi dan bahkan diduga telah mengumpulkan uang dari sejumlah penerimaan-penerimaan terkait jabatan yang dipersiapkan untuk “serangan fajar” pada Pemilu 2019 nanti. 

Setelah melakukan pemeriksaan selama 1x24 jam, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan empat tersangka dalam dugaan suap ini. Empat tersangka tersebut adalah BSP (Anggota DPR 2014-2019) dan IND(swasta) diduga sebagai penerima. AWI, (Marketing Manager PT. HTK) diduga sebagai pemberi. 

BSP bersama-sama dengan IND diduga menerima suap untuk mempengaruhi kerja sama pengangkutan bidang pelayaran dalam kebutuhan distribusi pupuk menggunakan kapal PT. HTK. BSP diduga menerima fee dari PT.HTK atas biaya angkut yang diterima sejumlah USD2 per metric ton. Diduga sebelumnya telah terjadi 6 (enam) kali penerimaan di berbagai tempat seperti Rumah Sakit, Hotel dan Kantor PT. HTK sejumlah Rp221 juta dan USD85,130. 

Satu tersangka lainnya, AWI diduga memberi suap supaya mendapatkan pekerjaan penyewaan kapal pengangkutan bidang pelayaran dalam kebutuhan distribusi pupuk. 

Sebagai pihak yang diduga penerima, BSP dan IND disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP junctoPasal 64 ayat (1) KUHP. 

AWI yang diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

Untuk kepentingan pemeriksaan, KPK menahan tiga tersangka tersebut selama 20 hari ke depan. BSP dan IND ditahan di Rumah Tahanan Cabang KPK Gedung Merah Putih. AWI ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu.

Sabtu, 30 Maret 2019

MODUS KORUPSI DANA DESA


foto : liputan6.com
Sejak pertama digulirkan tahun 2015 hingga saat ini, sampai dengan Tahun 2018 dana desa yang sudah digelontorkan pemerintah berjumlah Rp 186 triliun. Dana ini sudah disalurkan ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia. 

Dalam perkembangannya, dana desa yang berlimpah tersebut rawan praktik korupsi. Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch ( ICW) sejak tahun 2015 hingga Semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. 

Dalam paparannya, ICW mencatat ada 96 kasus korupsi anggaran desa dari total 454 kasus korupsi yang ditindak sepanjang 2018. Kerugian negara yang dihasilkan pun mencapai Rp37,2 miliar. 

Sebagaimana dikutid dari cnnindonesia.com, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sektor anggaran desa menyumbang kasus korupsi terbesar ketimbang sektor lain, serta jadi salah satu yang terbesar dalam menyumbang kerugian negara pada 2018. 

Dalam paparannya, ICW mencatat ada 96 kasus korupsi anggaran desa dari total 454 kasus korupsi yang ditindak sepanjang 2018. Kerugian negara yang dihasilkan pun mencapai Rp37,2 miliar. 

Itu terdiri dari kasus korupsi di sektor infrastruktur anggaran desa yang mencapai 49 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp17,1 miliar, dan kasus korupsi sektor non-infrastruktur sebanyak 47 kasus dengan kerugian negara Rp20 miliar. 

Dalam rangka mencegah terus meningkatnya kasus korupsi dana desa, penting untuk diketahui modus-modus korupsi dana desa. ICW telah merumuskan ada 12 modus korupsi dana desa yaitu : 
  1. Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Ini bisa diantisipasi jika pengadaan dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal desa. Misalnya, pengadaan bahan bangunan di toko bangunan yang ada di desa sehingga bisa melakukan cek bersama mengenai kepastian biaya atau harga-harga barang yang dibutuhkan. 
  2. Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain. Modus ini hanya bisa terlihat jika pengawas memahami alokasi pendanaan oleh desa. Modus seperti ini banyak dilakukan karea relatif tersembunyi. Karena itulah APBDes arus terbuka agar seluruh warga bisa melakukan pengawasan atasnya. 
  3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan. Ini juga sangat banyak terjadi, dari mulai kepentingan pribadi hingga untuk membayar biaya S2. Budaya ewuh-prakewuh di desa menjadi salah satu penghamat pada kasus seperti ini sehingga sulit di antisipasi. 
  4. Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten. Ini jua banyak terjadi dengan beragam alasan. Perangkat desa tak boleh ragu untuk melaporkan kasus seperti ini karena desa-lah yang paling dirugikan. 
  5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan utuk pelesiran saja. 
  6. Pengelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa. Jika modus ini lolos maka para perangkat desa yang honornya digelembungkan seharusnya melaporkan kasus seperti ini. Soalnya jika tidak, itu sama saja mereka dianggap mencicipi uang haram itu 
  7. Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Ini bia dilihat secara fisik tetapi harus pula paham apa saja alokasi yang telah disusun. 
  8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak. Pengawas harus memahami alur dana menyangkut pendapatan dari sektor pajak ini. 
  9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun peruntukkan secara pribadi. Lagi-lagi ewuh prakewuh menjadi salahsatu penghambat kasus seperti ini sehingga seringkali terjadi pembiaran 
  10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa. Publik harus tahu alokasi pendanaan dana des agar kasus ini tidak perlu terjadi 
  11. Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa. Bisa ditelusuri sejak dilakukannya Musyawarah Desa dan aturan mengenai larangan menggunakan jasa kontraktor dari luar. 
  12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa. 

400 Ribu Amplop "Serangan Pajar" Bowo Sidik

ilustrasi
Komisi Pemberantasana Korupsi (KPK) mengamankan Rp. 8 Milyar barang bukti dalam OTT anggota Komisi VI DPR RI dari Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso. Uang tersebut terdiri dari pecahan Rp. 20.000 dan Rp 50.000 yang telah dimasukkan kedalam amplop pada 84 kardus. Diduga pecahan uang tersebut dipersiapkan untuk "serangan fajar" pada hari pencoblosan tanggal 17 April 2019.

Dalam keterangan pers KPK menyampaikan membeberkan kronologi operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap kerja sama pengangkutan pupuk.

Terkait dengan hal ini Sebagaimana Kami Kutip dari tribunnews.com, Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, mengungkapkan terdapat hubungan antara tindak pidana korupsi dengan mahalnya biaya politik.

"Pola relasi antara korupsi dan politik biaya tinggi yang lahir pada awalnya karena kebutuhan yang akhirnya menjadi sistemik dan korupsi terus terjadi tanpa sence of deternt. Korupsi tanpa rasa jera berulang karena keserakahan," kata Fickar, kepada wartawan, Jumat (29/3/2019).

Pernyataan itu merujuk dari upaya penegakan hukum yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap politisi dari Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso, yang juga Komisi VI DPR RI.

Dia melihat hal menarik dari penangkapan itu. Hal ini, karena KPK mengamankan uang sekitar Rp 8 Miliar di pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu yang telah dimasukkan amplop-amplop di 84 kardus.

Jumat, 01 Juli 2016

KPK AKAN PERTEGAS WEWENANG APIP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menggandeng Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memperkuat pencegahan korupsi di daerah.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) bisa digunakan sebagai salah satu instrumen pencegahan dalam upaya koordinasi pencegahan korupsi.

"Kita akan bekerjasama dengan BPKP dan Kemendagri untuk mendorong ya itu tadi, memperkuat APIP dan memperkuat sistem," sebut Alex di Jakarta, Kamis (30/6).

Beberapa poin koordinasi dijabarkan oleh Alex, pertama mengenai APIP yang berada di bawah kendali Kepala Daerah. Selama ini mereka kerap kesulitan melakukan tindak pencegahan korupsi.

Pasalnya, banyak dari anggota APIP tidak berani mencegah tindak korupsi lantaran atasannya, kepala daerah seringkali terlibat. Untuk itu, KPK perlu meminjam tangan Kemendagri dalam menegaskan wewenang APIP.

Seperti diketahui, standar kerja aparat di bawah Inspektorat Jenderal Kemendagri ini bertugas menyisir program Kepala Daerah. Dimana ada penyediaan dana yang tak wajar atau berlebih, APIP akan menelusuri lebih lanjut.

"Kita berkoordinasi bagaimana polanya supaya APIP itu kuat. Lebih independen dan lebih profesional," imbuh Alex.

Poin kedua yakni mendorong daerah untuk menerapkan e-budgeting, e-procuremen dan sistem berbasis aplikasi. Dengan demikian,   pemerintahan daerah berjalan bersama dengan pengawasan dari pusat.

Dengan begitu celah penyelewengan bisa dipersempit atau bahkan ditiadakan. Menurut pengamatan KPK, ada hubungan antara pengawasan dengan tindak korupsi.

"Jelas terkait. Tingginya tingkat korupsi berbanding lurus dengan lemahnya pengawasan," tukas Alex. [rus]

Rabu, 29 Juni 2016

Ketua DPR Prihatin Anggotanya Tersangkut Korupsi

Ketua DPR RI Ade Komarudin mengaku prihatin atas kejadian tangkap tangan anggota Komisi III DPR dari partai Demokrat Putu Sudiartana. Dia mengimbau kepada anggota dewan agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi.

Menurut dia, jangan sampai kinerja dewan yang telah dilakukan sejauh ini diwarnai oleh kasus korupsi. Telah ada capaian-capaian konstitusi yang dilakukan oleh dewan dengan baik, seperti pengesahan calon kapolri, pengesahan UU Pengampunan Pajak, dan pengesahan APBN Perubahan 2016. Semua itu, katanya, bisa ambruk dalam tempo dua hari jika diwarnai kasus korupsi.

"Saya kira itu prestasi dari kami dalam rangka menjalankan tugas konstitusional. Kami tidak ingin itu kemudian diwarnai oleh perilaku yang tidak baik," tuturnya, Rabu 29 Juni 2016.

Ade mengaku, mendapatkan telefon dari sekjen DPR Selasa malam soal operasi tangkap tangan. Menurut Ade, sekjen sendiri belum mengetahui pokok persoalan Putu bisa ditangkap oleh KPK. "Kami berusaha meminimalisasi kejadian seperti ini sebagaimana yang disampaikan dari dulu, tapi terjadi lagi," tuturnya.

Dia menambahkan, DPR akan menghormati langkah hukum yang dilakukan KPK. Menurut dia, selama ini DPR selalu mendukung KPK. "Sebagaimana dikatakan berkali-kali, musih besar saat ini adalah terorisme, narkoba dan korupsi. Kita harus sama-sama berani melawannya," kata dia.***

Wadir RSUD Tebing Tinggi Ditahan karena Diduga Korupsi Alkes 2012

Wakil Direktur RSUD dr Kumpulan Pane, Tebing Tinggi, Edi Sahputra ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) 2012 oleh kepolisian setempat.

Berkas perkaranya kini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Tebing Tinggi pada Rabu (29/6/2016).

Berdasarkan pantauan Kompas.com di kejaksaan, Kanit Tipikor Satuan Reskrim Polres Tebing Tinggi, Ipda S Panjaitan, selain menyerahkan Edi Sahputra juga turut menyerahkan Rudianto selaku Ketua Panitia Tender atau PPTK dan Sawaludin selaku Direktur PT Magnum Global Mandiri.

Ketiga tersangka diserahkan ke penyidik jaksa tindak pidana khusus (Pidsus) Kejari Tebing Tinggi. 

Perlu diketahui, proyek pengadaan alat kesehatan pada 2012 di rumah sakit milik Pemkot Tebing Tinggi itu dimenangkan PT Magnum Global Mandiri dengan nilai anggaran Rp 4.949.400.000 yang bersumber APBN 2012 dan DIPA no: 3226/024-04.4.01/02/2012 tanggal 14 Juni 2012.

Pengadaan alat kesehatan itu berupa alat kedokteran dan KB dengan 11 kegiatan. Selanjutnya pada 2014 proyek pengadaan alat kesehatan itu dilaporkan ke Polres Tebing Tinggi karena terjadi dugaan korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Setelah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyidik Tipikor Sat Reskrim di bawah pimpinan Kasat Reskrim AKP Sugeng W Santoso menetapkan ketiganya menjadi tersangka. Lalu awal Juni 2016, berkas perkara ketiganya dinyatakan lengkap atau P21.

Dengan demikian, pada Rabu (29/6/2016), ketiga tersangka dilimpahkan ke penyidik Kejari Tebing Tinggi.

"Benar, ketiga tersangka korupsi pengadaan Alkes RSUD dr Kumpulan Pane beserta seluruh barang bukti sudah kami limpahkan ke pihak Kejari Tebing Tinggi. Mengenai adanya kemungkinan tersangka baru dalam kasus tersebut masih dalam penyelidikan," ujar Kasat Reskrim AKP Sugeng W Santoso.

Setelah dilakukan pemeriksaan sejak siang, pada sore harinya, sekitar pukul 16.30 WIB, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tebing Tinggi Fajar Rudi Manurung menahan ketiga tersangka korupsi itu dengan dititipkan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Klas II B Tebing Tinggi.

Fajar mengatakan, penahanan itu didasari beberapa pertimbangan seperti dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan jumlah kerugian keuangan negara cukup tinggi.

Pada tahun 2012, RSUD dr H Kumpulan Pane mendapatkan alokasi dana bantuan sekitar Rp 5 miliar untuk membeli peralatan kesehatan dengan 11 kegiatan yang bertujuan menunjang pelayanan pemeriksaan kesehatan masyarakat.

Namun setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditemukan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,8 miliar.

"Dari hasil penyidikan Unit Tipikor Sat Reskrim Polres Tebing Tinggi dan hasil audit BPKP, ditemukan korupsi Rp 1,8 miliar dalam pengadaan alkes RSUD dr Kumpulan Pane itu," ujarnya.

Fajar menambahkan, ketiga tersangka itu dijerat Pasal 2 ayat 1 subsidair pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 2009 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Penulis : Kontributor Pematangsiantar, Tigor Munthe
Editor : Farid Assifa

Sumber : Baca disini>>