Jumat, 01 Juli 2016

Korupsi di Indonesia, dari Bawah Meja Sampai Diatas Meja

Praktek korupsi di Indonesia memiliki sejarah panjang dari masa ke masa, mulai dari zaman pra kemerdekaan sampai dengan saat sekarang ini. Jika pada zaman dulu pemberian "uang terima kasih" masih diakukan dengan "malu-malu" atau istilahnya dari bawah meja, namun praktek suap saat ini diakukan tanpa rasa malu. Para oknum pegawai atau Penyelenggara negara secara terang-terangan meminta "jatah" dari targetnya dengan alasan untuk melicinkan urusan, dengan kata lain praktek sua saat ini dalakukan diatas meja.

Korupsi dari Masa ke Masa

Budaya yang sangat tertutup pada zaman kerajan turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang terkadang abdi dalem juga melakukan tindakan korup dalam bentuk mengambil upeti (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (sat ini Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Tummenggung. Abdi dalem di ketemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

pada zaman kolonial Belannda Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa di tiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800-1942) , akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Pada Masa orde lama (Orla) dibentuklah Badan Pemberantas Korupsi dengan nama Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. 

Namun sangat disayangkan pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Pada masa itu pejabat pemerintah harus mengisi formulir yang telah disediakan yang saat ini dikena dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Pada masa Orde Baru (Orba) dibentuk tim pemberantas korupsi (TPK) yang pada saat itu di ketuai oleh Jaksa Agung. Pada tahun 1970 terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Presiden Soeharto, Mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.

Pada era reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit penyakit kronis yang bernama korupsi . Presiden ke tiga RI BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.

Pada periode pemerintahan Presiden Abdul Rahman Wahid dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk pemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judical review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan Korupsi.

Referensi :
http://hasbagiilmu.blogspot.co.id

Analisis Unsur Tindak Pidana Korupsi Dalam Pasal 2 UU Tipikor

Contoh Kasus :

Majelis Hakim tindak pidana korupsi pada sebuah pengadilan tipikor menjatuhkan sanksi pidana berupa kurungan empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 1 bulan penjara kepada seorang terdakwa 

Ketua Majeis Hakim dalam sidang putusan menjelaskan terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan korupsi penyimpangan dana kegiatan pada suatu komisi/lembaga pemerintah sebuah provinsi sejak 2013 hingga 2014.

Atas perkara itu hakim memutuskan terdakwa melanggar Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi.

Selain kurungan dan denda, majelis hakim juga memutuskan terdakwa mengganti kerugian negara sebesar Rp 737 juta.

Berdasarkan contoh kasus tersebut mari kita analisis eneraan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:

Rumusan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah: 

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mmeperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu miliar rupiah). 

Unsur-unsur pasal 2 ayat (1) adalah :
  1. Setiap Orang;
  2. Melawan Hukum;
  3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
  4. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
Penjelasan unsur-unsur tersebut sebagai berikut :

1. Setiap Orang
Menurut ppasal 1 angka 3 Undang-undang nomor. 31 Tahun 1999 setiap orang bermakna orang perseorangan atau termasuk korporasi, maksudnya adalah setiap orang tidak hanya terbatas pada orang perorangan tetapi juga perkumulan atau korporasi.

2. Melawan hukum 
Adalah perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, baik secara formil ataupun dalam arti materiil, maksudnya yakni walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social maka perbuatan tersebut, dapat dipidana.

3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi 
Maksudnya dari unsur ini adalah dengan tindakan tersebut mendapatkan/menambah kekayaan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara-cara melawan hukum.

4. Dapat merugikan keuangan /perekonomian negara 
Maksudnya adalah karena perbuatan sii pelaku Keuangan/perekomian negara rugi atau berkurang kekayaannya yang harus dibuktikan, yang biasanya dilakukan dengan perhitungan ahli dalam hal ini akuntan negara atau atau berdasarkan audit investigasi BPK atas permintaan KPK.

MENYUAP PNS ADALAH KORUPSI

tindak pidana suapContoh Kasus : 

Seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten A, Provinsi S, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara karena menerima suap. Sementara pemberi suap diganjar 2,5 tahun penjara.

Hukuman 5 tahun penjara dijatuhkan kepada Mz, seorang PNS yang merupakan anggota panitia pengadaan barang di Dinas K dan P Kabupaten L. Dia terbukti bersalah menerima suap dari rekanan sebesar Rp 110 juta.

Uang suap itu diberikan Direktur PT BM yang berinisial Sm, untuk mendapatkan proyek pengadaan bibit ikan. Sm juga dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan (2,5 tahun) penjara. 

Hukuman kepada kedua terdakwa dijatuhkan majelis hakim  Pengadilan Tipikor Kota Md. Selain hukuman penjara, majelis juga mendenda Mz Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara Sumantri didenda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan. 

Mz telah terbukti melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 12 huruf b jo Pasal 5 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan terhadap UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Sementara Sm dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan terhadap UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terhadap contoh kasus tersebut mari kita lihat analisis hukum terhadap penerapan pasal-pasal dimaksud dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

a. Terhadap Mz :

Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 419 angka 1 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No 3 Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.

Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,   padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. ......;
Unsur Tindak pidana yang harus terpenuhi :
  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
  • Menerima hadiah atau janji;
  • Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; dan
  • Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya


b Terhadap Sm :

Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.

Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. ......;
Unsur Tindak pidana yang harus terpenuhi :
  • Setiap orang;
  • Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu;
  • Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; dan
  • Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya
Referensi : 

Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI, terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi

Potensi Persoalan Pengelolaan Dana Desa

Source : http://radiobuana.com/
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa. Kajian ini dilatari oleh diberlakukannya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Dari kajian yang dilakukan sejak Januari 2015, KPK menemukan 14 temuan pada empat aspek, yakni aspek regulasi dan kelembagaan; aspek tata laksana; aspek pengawasan; dan aspek sumber daya manusia.


Pada aspek regulasi dan kelembagaan, KPK menemukan sejumlah persoalan, antara lain; Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa; Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri; Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan; Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan; serta Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

1. Aspek regulasi dan kelembagaan

Persoalan pada aspek regulasi kelembagaan terlihat dari belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa serta adanya potensi tumpang tindih kewenangan. 

Regulasi bisa dianggap masalah pada pengalokasian dana desa . Minimnya pengetahuan perangkat desa tentang regulasi yang berlaku membuat pengelolaan dana desa tidak berjalan lancar. Setiap kali menerima dana, perangkat desa harus membuat surat pertanggungjawaban terlebih dahulu, padahal banyak perangkat desa yang tidak paham tentang proses ini. Akibatnya ada ketakutan pada perangkat desa untuk menggunakan dana desa.
sehingga sangat disarankan pemerintah meengkapi reguasi-regulasi yang terkait dengan penyeenggaraan pemerintah usat, baik reguasi tingkat nasional maupun reguasi tingkat daerah.Sementara untuk Penguatan struktur kelembagaan desa dapat dilakukan melalui pendidikan dan penyuluhan, pendampingan terhadap para aparatur desa, serta meningkatkan kesejahteraan aparatur desa dan masyarakat desa.

2. Aspek tata laksana

Dari aspek tata laksana, persoalan muncul pada kesulitan desa dalam mematuhi kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa, satuan belum tersedianya harga baku barang atau jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa, dan transparansi rencana penggunaan dan pertanggung jawaban APBDesa masih rendah, laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

3. Aspek pengawasan

Sementara pada aspek pengawasan, terdapat masalah dalam efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah dan ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas. 

4. Aspek sumber daya manusia

pada aspek sumber daya manusia terdapat potensi persoalan yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi karena memanfaatkan lemahnya aparat desa. Bahkan di beberapa daerah beum ada pendelegasian wewenang evaluasi dan pengawasan dana desa dari daerah kepada camat dengan alasan sumberdaya manuasia di kecamatan belum memadai.


KPK AKAN PERTEGAS WEWENANG APIP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menggandeng Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memperkuat pencegahan korupsi di daerah.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) bisa digunakan sebagai salah satu instrumen pencegahan dalam upaya koordinasi pencegahan korupsi.

"Kita akan bekerjasama dengan BPKP dan Kemendagri untuk mendorong ya itu tadi, memperkuat APIP dan memperkuat sistem," sebut Alex di Jakarta, Kamis (30/6).

Beberapa poin koordinasi dijabarkan oleh Alex, pertama mengenai APIP yang berada di bawah kendali Kepala Daerah. Selama ini mereka kerap kesulitan melakukan tindak pencegahan korupsi.

Pasalnya, banyak dari anggota APIP tidak berani mencegah tindak korupsi lantaran atasannya, kepala daerah seringkali terlibat. Untuk itu, KPK perlu meminjam tangan Kemendagri dalam menegaskan wewenang APIP.

Seperti diketahui, standar kerja aparat di bawah Inspektorat Jenderal Kemendagri ini bertugas menyisir program Kepala Daerah. Dimana ada penyediaan dana yang tak wajar atau berlebih, APIP akan menelusuri lebih lanjut.

"Kita berkoordinasi bagaimana polanya supaya APIP itu kuat. Lebih independen dan lebih profesional," imbuh Alex.

Poin kedua yakni mendorong daerah untuk menerapkan e-budgeting, e-procuremen dan sistem berbasis aplikasi. Dengan demikian,   pemerintahan daerah berjalan bersama dengan pengawasan dari pusat.

Dengan begitu celah penyelewengan bisa dipersempit atau bahkan ditiadakan. Menurut pengamatan KPK, ada hubungan antara pengawasan dengan tindak korupsi.

"Jelas terkait. Tingginya tingkat korupsi berbanding lurus dengan lemahnya pengawasan," tukas Alex. [rus]

Kamis, 30 Juni 2016

7 Kelompok Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Tipikor

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.


Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kerugian keuangan negara

Menurut Prof. Komariah sebagaimana dikutip Hukumonline.com, UU No. 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur "dapat merugikan keuangan negara" seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam  penjelasan 2 ayat (1) UU No. 31/1999 yang menyatakan kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

2. Suap-menyuap

Untuk mengetahui pengertian suap- menyuap dapat kita lihat dalam rumusan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap :

- Pasal 2 
"memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"

- Pasal 3 
"menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum""

3. Penggelapan dalam jabatan

Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.

Menurut rumusan Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP terdapat empat jenis tindak pidana penggelapan yaitu penggelapan biasa, penggelapan ringan, Penggelapan dengan Pemberatan dan Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga. 

Penggelapan dalam jabatan sebagaimana dimaksud dari rumusan pasal- pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 merujuk kepada Penggelapan dengan Pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).

4. Pemerasan

Berdasarkan pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 pemerasan adalah tindakan/ perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri

5. Perbuatan curang

Untuk memahami unsur perbuatan curang dalam tindak pidana korupsi, mari kita lihat tumusan pasal 7 dan pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

Pasal 7 ayat (1) huruf a samai dengan huruf d
  1. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
  2. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
  4. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Pasal 7 ayat (2)
"Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)"

Pasal 12 huruf h :
"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan"

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah situasi di mana seorang PN yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga
memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan
wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi
kualitas dan kinerja yang seharusnya

Faktor Penyebab Konflik Kepentingan :


  1. Kekuasaan dan kewenangan Pegawai Negeri;
  2. Perangkapan jabatan;
  3. Hubungan afiliasi;
  4. Gratifikasi;
  5. Kelemahan sistem organisasi;
  6. Kepentingan pribadi

7. Gratifikasi

Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:

ayat (1) :

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan:
  1. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  2. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum: 
ayat (2) :
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional Menurut BPKP

BPKP dalam buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional , telah menyusun beberapa strategi pemberantasan korupsi yang meiuti strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut : 

Strategi Preventif

Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:
  1. Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat; 
  2. Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya;
  3. Membangun kode etik di sektor publik ;
  4. Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis.
  5. Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.
  6. Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan  kesejahteraan Pegawai Negeri ;
  7. Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas   kinerja bagi instansi pemerintah;
  8. Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;
  9. Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) 
  10. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ;
  11. Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;
Strategi Detektif
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi.
Strategi detektif dapat dilakukan dengan :
  1. Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;
  2. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;
  3. Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;
  4. Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional ;
  5. Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ;
  6. Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

Strategi Represif

Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan :
  1. Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ;
  2. Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes);
  3. Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas ;
  4. Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ;
  5. Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus ;
  6. Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu ; 
  7. Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya; 
  8. Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. 

Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan 
meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)/ Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dan Perbankan dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja
masing-masing.